Tuhan membentuk saya dengan bermacam-macam cara dan peristiwa. Salah satunya melalui suami. Dari dulu memang saya pemarah. Jika suami ada salah sedikit, saya mulai cakar dia dan mengamuk. Sekarang, ketika saya ingin marah, saya minta penguasaan diri dari Tuhan. �Tuhan, tolong saya.� Tidak ada cara lain. Dan Tuhan membuat tangan saya tidak bisa bergerak. Tuhan mengajar dengan mengizinkan banyak hal terjadi, agar saya banyak penguasaan diri dan tunduk kepada suami. Dengan melalui perjuangan demi perjuangan dan dengan pertolongan Tuhan, itu pasti bisa.
Tuhan memberikan satu pengertian mengapa istri harus tunduk kepada suami. Ketika seorang istri tunduk kepada suami dan suaminya berlaku semena-mena, maka Tuhan yang akan membela sang istri. Apakah lebih baik membela diri sendiri dan bertengkar atau diam dan Tuhan yang membela? Ketika saya diberi pengertian itu, di dalam segala hal, saya memilih untuk diam. Dan Tuhanlah yang membela saya.
Suatu kali Tuhan mendidik saya ketika kami berada di Spanyol untuk pelayanan pada bulan Desember. Udara di sana dingin sekali, antara 3 sampai minus 5 derajat Celsius. Ketika itu kami berjalan-jalan di pantai melihat kapal-kapal pesiar. Lalu kami mampir ke kafe. Ketika sampai di kafe suami saya berkata, �Sebentar mam, saya mau ke toilet.� Lalu suami ke toilet. Ketika agak lama suami saya tidak keluar-keluar, saya mulai berpikir, �Ada apa ya?�
Saya berkata kepada tuan rumah yang mengundang kami, �Sebentar pak, saya mau lihat dulu suami saya ke toilet.�
Ketika saya akan masuk ke toilet, saya ketuk pintu. �Pap, ada di dalam?� Kata suami saya, �Dorong saja pintunya, mam!� Saya dorong pintunya. Astaga, ternyata saya lihat seluruh lantai dipenuhi kotoran suami saya.
Saya bertanya, �Pap, kenapa bisa begini?�
Dia menjawab, �Gak tahu, begitu masuk sini, saya sudah berak kemana-mana.� Beraknya bukan kotoran keras, tetapi seperti bubur bayi. Padahal toilet di luar negeri, toiletnya bersih dan kering.
Saya lihat suami saya sedang duduk di atas closet. Saya buka celana panjangnya, semuanya terkena kotoran. Bukan hanya celana dalam, tetapi juga celana panjang, ikat pinggang, semuanya terkena kotoran.
Saya keluar dari toilet dan berkata kepada pak Peter, �Pak Peter, bisa minta tolong ke rumah bapak, maaf ambilkan handuk, celana panjang dan celana dalam bapak? Maaf ya merepotkan. Pak Peter, tolong juga carikan gayung di sini atau kalau tidak ada pinjam gelas saja?� Dia membawakan saya gelas dan saya bawa ke toilet.
Tuhan izinkan ini terjadi. Saya pakai jas dan baju berlapis-lapis karena dingin. Saya membuka sarung tangan dan mulai mengepel lantai WC sambil memuji Tuhan, saya mengucap syukur. Seumur hidup saya, baru kali ini saya mengalaminya. Kalau hal ini terjadi, saya menerimanya dengan bersuka dan bersyukur.
Saya mulai mengepel satu arah dahulu supaya suami saya bisa jalan lewat. Saya meminta dia tetap duduk dan mengangkat sepatunya. Saya mencuci sepatunya. Setelah itu saya bukakan celana panjangnya dan celana dalamnya. Saya memandikan suami saya dan membersihkannya. Dan saya katakan kepada suami, �Ayo pakai sandal ini dan keluar toilet.� Saya pinjam satu kursi dari kafe itu, untuk suami saya duduk, tidak pakai celana panjang, tidak pakai celana dalam. Dingin sekali. Tas saya ambil untuk menutupi dia. �Tolong tunggu sampai pak Peter datang.�
Saya cuci celana panjangnya, saya cuci celana dalamnya dan mengepel lantai WC, bukan hanya closetnya saja, tetapi seluruh lantainya. Setelah itu saya menggunakan kertas tissue untuk mengeringkan WC karena harus bersih dan kering.
Ketika WC sudah bersih, Pak Peter datang. Suami saya mengeringkan badang dengan handuk, memakai celana dalam dan celana panjang. Suami saya bersih. Tetapi jas saya dan semua pakaian saya bau karena terkena kotoran juga.
Saya bersyukur saja kepada Tuhan karena Dia izinkan satu cobaan untuk saya sehingga saya belajar menghadapi dan mengurus suami yang buang air besar berceceran. Saya melakukannya dengan penuh ketulusan.
Ketika kami masuk mobil, mobil tuan rumah, mobil mewah, saya berkata kepada pemiliknya, �Maaf ya pak, jas saya ini masih bau.� Dia berkata, �Gak apa-apa, bu. Nanti mobil ini diberi pewangi saja. Nanti ibu ganti jas sesampai di rumah ya.�
Itulah kehidupan sebuah bejana yang terus dibentuk Tuhan. Saya bukan hanya bisa bicara atau mengkhotbahkan soal tunduk dan melayani suami, tetapi Tuhan izinkan saya melakukannya terlebih dahulu.
Suatu ketika di Banjarmasin, suami saya ada masalah dengan perutnya. Untuk jangka waktu enam bulan, setiap malam suami saya buang air besar di tempat tidur. Dari tempat tidur sampai ke closet, berceceran kotorannya. Hampir setiap malam atau seminggu dua kali, saya harus ganti seprei dan bed cover. Semua itu saya yang mencuci karena pada waktu itu kami belum ada suster. Sambil mencuci kotorannya, saya memuji Tuhan. Pernah, di suatu malam saya harus mencuci dan membereskan kotoran itu, padahal esok pagi-paginya saya harus membawakan Firman Tuhan. Sebagai tanah liat, saya siap dibentuk oleh penjunan-Nya, yaitu Tuhan Yesus.
Catatan: Kisah di atas diambil dari Buku "Barometer Tuhan" yang ditulis oleh Ibu Lidya Dewi Yana, mantan pengusaha sukses di Banjarmasin yang kemudian melayani sepenuh waktu bagi Tuhan bersama suami dan anak-anaknya.
Diposting oleh Hadi Kristadi untuk PENTAS KESAKSIAN http://kesaksianabadi.blogspot.com
Post a Comment