Cintailah pasanganmu, cintailah pilihan hatimu, cintailah apa yang ia miliki dan kau akan mendapatkan segalanya. Karena cinta, kamu akan belajar menyenangkan hatinya dan menerima kekurangannya, kamu pun akan belajar bahwa sebesar apapun persoalan, kalian akan menyelesaikannya atas nama cinta.
Dalam artikel ini saya ingin membagikan sebuah kisah seorang wanita bernama Nia yang menikahi seorang pria bernama Samuel karena dipaksa kedua orangtua Nia dan baru bisa mencintai suaminya justru setelah kematian sang suami. Meskipun latar belakang kisah tersebut adalah keluarga non Kristen, namun kita dapat mengambil hikmah yang terkandung dalam kisah tersebut sehingga kebodohan serupa tidak terjadi dalam keluarga kita dan kita akan mencintai pasangan kita dan apa yang dia miliki selama dia hidup.
"Aku membencinya," bisikku dalam batinku yang selalu ada di hampir sepanjang waktu kebersamaan kami. Meskipun aku menikahi suamiku tersebut, aku tak pernah benar-benar menyerahkan hatiku padanya. Aku membenci suamiku, karena menikah atas dasar paksaan orangtuaku.
Meski demikian, aku tak pernah menunjukkan sikap benciku. Setiap hari aku melayaninya sebagaimana kewajiban sang istri, meskipun aku sangat-sangat dan sangat membenci dia. Aku terpaksa melakukan semuanya itu karena aku tak punya pegangan lain. Beberapa kali dalam benakku muncul keinginan untuk meninggalkan suamiku itu tapi aku tak punya kemampuan finansial dan tidak mungkin bagiku untuk meminta dukungan finansial lagi dari kedua orangtuaku. Kedua orangtuaku sangat menyayangi suamiku, karena menurut mereka suamiku adalah sosok suami sempurna untuk putri tunggal mereka.
Dalam artikel ini saya ingin membagikan sebuah kisah seorang wanita bernama Nia yang menikahi seorang pria bernama Samuel karena dipaksa kedua orangtua Nia dan baru bisa mencintai suaminya justru setelah kematian sang suami. Meskipun latar belakang kisah tersebut adalah keluarga non Kristen, namun kita dapat mengambil hikmah yang terkandung dalam kisah tersebut sehingga kebodohan serupa tidak terjadi dalam keluarga kita dan kita akan mencintai pasangan kita dan apa yang dia miliki selama dia hidup.
"Aku membencinya," bisikku dalam batinku yang selalu ada di hampir sepanjang waktu kebersamaan kami. Meskipun aku menikahi suamiku tersebut, aku tak pernah benar-benar menyerahkan hatiku padanya. Aku membenci suamiku, karena menikah atas dasar paksaan orangtuaku.
Meski demikian, aku tak pernah menunjukkan sikap benciku. Setiap hari aku melayaninya sebagaimana kewajiban sang istri, meskipun aku sangat-sangat dan sangat membenci dia. Aku terpaksa melakukan semuanya itu karena aku tak punya pegangan lain. Beberapa kali dalam benakku muncul keinginan untuk meninggalkan suamiku itu tapi aku tak punya kemampuan finansial dan tidak mungkin bagiku untuk meminta dukungan finansial lagi dari kedua orangtuaku. Kedua orangtuaku sangat menyayangi suamiku, karena menurut mereka suamiku adalah sosok suami sempurna untuk putri tunggal mereka.
Ketika menikah, aku menjadi istri yang sangat manja. Kulakukan segala hal sesuka hatiku dan suamiku pun memanjakanku sedemikian rupa. Sebenarnya aku tidak pernah benar-benar menjalani tugasku sebagai seorang istri. Aku selalu bergantung padanya, karena aku menganggap hal itu sudah seharusnya dilakukan sebagai bentuk balas budi kepada suamiku. Aku telah menyerahkan hidupku padanya dan tugas suamiku ialah membuatku bahagia dengan menuruti semua keinginanku.
Di rumah kami, aku menjadi ratu dan tak ada seorangpun yang berani melawan, termasuk suamiku. Jika ada masalah sekecil apapun, aku selalu menyalahkan suamiku. Aku tak suka saat dia meletakkan handuknya yang basah di tempat tidur; aku sebal melihat suamiku meletakkan sendok yang dipakai untuk mengaduk susu dan meninggalkan bekas lengket di atas meja; aku benci ketika suamiku memakai komputerku, meski hanya untuk menyelesaikan pekerjaannya; aku marah ketika suamiku menggantung bajunya di kapstock bajuku; aku marah ketika suamiku memakai pasta gigi tanpa memencetnya dengan rapi; aku marah saat suamiku menghubungiku hingga berkali-kali ketika aku sedang bersenang-senang dengan teman-temanku.
Awalnya aku memilih untuk tidak punya anak, karena meskipun aku tidak bekerja, tapi aku tidak mau direpotkan dengan mengurus anak. Suamiku mendukung dan akupun meminum pil KB, tapi suamiku rupanya menyembunyikan keinginannya begitu dalam hingga suatu hari aku lupa minum pil KB dan suamiku membiarkannya. Akupun hamil dan baru menyadarinya setelah lebih dari empat bulan. Aku pergi ke dokter kandungan untuk menggugurkan kandunganku, namun ditolak dengan alasan dokter kandungan tersebut tidak boleh melanggar sumpah jabatan.
Dan sejak aku dinyatakan hamil, kemarahanku kepada suamiku semakin besar, terlebih lagi saat aku mengandung sepasang anak kembar dan harus mengalami kelahiran yang sulit. Aku memaksa suamiku untuk melakukan tindakan vasektomi agar aku tidak hamil lagi dan ia melaksanakan keinginanku tersebut karena aku mengancam akan meninggalkannya bersama kedua anak kami.
Waktu pun berlalu hingga hari ulangtahun kedua anakku yang ke-delapan. Aku terbiasa bangun paling akhir dan suami serta kedua anakku sudah menunggu di meja makan. Seperti biasa, suamiku menyediakan sarapan pagi dan mengantar anak-anak ke sekolah. Hari itu, suamiku mengingatkan kalau hari itu adalah hari ulang tahun ibuku dan aku hanya menjawab dengan anggukan tanpa mempedulikan kata-katanya yang mengingatkan peristiwa tahun sebelumnya, dimana saat itu aku memilih ke mal dan tidak hadir di acara ibu. Sejujurnya, saat-saat itu aku membenci kedua orangtuaku karena merasa dijebak dengan pernikahanku itersebut.
Sebelum ke kantor, biasanya suamiku mencium pipiku saja dan diikuti anak-anak, tetapi hari itu suamiku juga memelukku sehingga kedua anakku menggoda papanya dengan ribut. Aku berusaha mengelak dan melepaskan pelukannya, namun akhirnya aku ikut tersenyum bersama kedua anakku dan suamiku kembali mencium pipiku hingga beberapa kali di depan pintu, seakan-akan berat untuk pergi.
Ketika mereka pergi, akupun memutuskan untuk ke salon yang menjadi hobiku. Aku tiba di salon langgananku beberapa jam kemudian dan bertemu salah satu temanku sekaligus orang yang tidak kusukai. Kami mengobrol dengan asyik termasuk saling memamerkan kegiatan kami dan ketika tiba waktunya aku harus membayar tagihan salon, betapa terkejutnya aku ketika menyadari dompetku tertinggal di rumah. Aku menelepon untuk menanyakan suamiku sambil berusaha mengingat-ingat apa yang terjadi hingga dompetku tak bisa kutemukan dan suamiku menjawab dengan lembut,�Maaf Sayang, kemarin Farhan meminta uang jajan dan aku tak punya uang kecil maka kuambil dari dompetmu. Aku lupa menaruhnya kembali ke tasmu, kalau tidak salah aku letakkan di atas meja kerjaku.�
Aku mememarahi suamiku dengan kasar, lalu kututup telepon tanpa menunggunya selesai bicara. Tak lama kemudian, handphoneku kembali berbunyi dan meski masih kesal, akupun mengangkatnya dengan setengah membentak. �Apalagi?�
�Sayang, aku pulang sekarang, aku akan ambil dompet dan mengantarnya padamu. Sayang sekarang ada dimana?� tanya suamiku cepat karena kuatir aku menutup telepon kembali. Aku menyebut nama salon tempat aku berada saat itu dan tanpa menunggu jawabannya lagi, aku kembali menutup telepon. Aku berbicara dengan kasir dan mengatakan bahwa suamiku akan datang membayarkan tagihanku. Si empunya salon yang juga sahabat baikku sebenarnya sudah membolehkanku pergi dan mengatakan aku bisa membayarnya nanti kalau aku kembali lagi, tapi rasa malu karena 'musuh' ku juga ikut mendengarku ketinggalan dompet membuatku gengsi untuk berhutang.
Hujan turun ketika aku melihat keluar dan berharap mobil suamiku segera sampai. Menit demi menit dan jam demi jam, aku semakin tidak sabar sehingga mulai menghubungi handphone suamiku. Tak ada jawaban meskipun sudah berkali-kali kutelepon, padahal biasanya hanya dua kali berdering teleponku sudah diangkatnya. Aku mulai merasa jengkel dan marah.
Teleponku diangkat setelah beberapa kali mencoba dan terdengar suara asing menjawab di handphone suamiku. Aku terdiam beberapa saat sebelum suara lelaki asing yang ternyata seorang polisi memperkenalkan diri, "Selamat siang, Bu. Apakah Ibu istri dari bapak Samuel?" Lalu kujawab, "Iya benar, ada apa ya Pak?" Polisi tersebut memberitahu bahwa suamiku mengalami kecelakaan dan dibawa ke rumah sakit kepolisian. Saat itu aku hanya terdiam dan hanya menjawab terima kasih. Ketika telepon ditutup, aku berjongkok dengan bingung dan tanganku menggenggam erat handphone yang kupegang. Beberapa pegawai salon mendekatiku dengan sigap sambil menanyakan keadaanku, karena melihat wajahku yang pucat seputih kertas.
Entah bagaimana akhirnya aku sampai di rumah sakit dan entah bagaimana juga seluruh keluarga hadir di sana menyusulku. Aku yang hanya diam seribu bahasa menunggu suamiku di depan ruang gawat darurat dan tidak tahu harus melakukan apa karena selama ini suamiku yang melakukan segalanya untukku. Setelah menunggu beberapa jam, tepat ketika kumandang adzan maghrib, seorang dokter keluar dan menyampaikan berita bahwa suamiku telah tiada dan penyebabnya bukan karena kecelakaan itu sendiri, namun karenaserangan stroke. Selesai mendengar pernyataan dokter tersebut, aku malah sibuk menguatkan kedua orangtuaku dan orangtuanya yang shock dan aku sama sekali tidak meneteskan airmata sedikitpun. Aku bahkan memeluk kedua anakku dengan erat, tetapi kesedihan mereka sama sekali tidak mampu membuatku menangis.
Ketika jenazah dibawa ke rumah dan aku duduk di hadapannya, aku termangu menatap wajah suamiku dan saat itu baru kusadari bahwa suamiku tertidur pulas dan tak bergerak sama sekali, lalu kudekati wajahnya dan kupandangi dengan seksama. Saat itulah dadaku menjadi sesak karena teringat apa yang telah suamiku berikan padaku selama sepuluh tahun kebersamaan kami, lalu kusentuh perlahan wajahnya yang telah dingin dan kusadari inilah pertama kali aku menyentuh wajahnya yang dulu selalu dihiasi senyum hangat. Tak terasa airmata merebak dimataku dan mengaburkan pandanganku. Aku tersadar dan berusaha mengusap airmataku agar tidak menghalangi tatapan terakhirku padanya, karena saat itu aku ingin mengingat semua bagian wajahnya agar kenangan manis tentang suamiku tak berakhir begitu saja. Namun airmataku semakin deras membanjiri kedua pipiku, bahkan peringatan dari imam masjid yang mengatur prosesi pemakaman tidak mampu membuatku berhenti menangis. Aku berusaha menahannya, namun dadaku sesak karena mengingat apa yang telah kuperbuat pada suamiku saat terakhir kali kami berbicara lewat handphone.
Saat itu aku teringat betapa aku tidak pernah memperhatikan kesehatan suamiku dan aku hampir tidak pernah mengatur pola makannya, padahal suamiku selalu mengatur apa yang kumakan. Bahkan suami memperhatikan vitamin dan obat yang harus kukonsumsi terutama ketika aku mengandung dan setelah aku melahirkan. Suamiku juga tidak pernah absen mengingatkanku untuk makan teratur, bahkan terkadang menyuapiku kalau aku sedang malas makan. Aku tidak pernah tahu apa yang suamiku makan karena aku tak pernah menanyakannya, bahkan aku tidak tahu apa yang suamiku sukai dan tidak disukai, padahal hampir seluruh keluarga tahu bahwa suamiku adalah penggemar mie instant dan kopi kental. Dadaku sesak mendengarnya, karena aku tahu suamiku mungkin terpaksa makan mie instant karena aku hampir tidak pernah memasakkan makanan untuknya dan hanya memasak untuk anak-anak dan diriku sendiri. Aku tidak peduli suamiku sudah makan atau belum ketika dia pulang kerja. Suamiku hanya bisa makan sisa masakanku. Suamiku seringkali pulang larut malam setiap hari, karena harus menempuh perjalanan yang cukup jauh dari kantor ke rumah dan aku pun tidak pernah mau menanggapi permintaannya untuk pindah lebih dekat ke kantornya, karena tak mau jauh-jauh dari tempat tinggal teman-temanku.
Saat pemakaman, aku tidak mampu menahan kesedihanku lagi dan akhirnya aku pingsan ketika melihat tubuhnya hilang bersamaan onggokan tanah yang menimbun tubuhnya. Aku tak sadarkan diri sampai akhirnya aku terbangun di tempat tidur besarku. Saat itu penyesalan yang begitu besar memenuhi rongga dadaku, karena aku menyadari betapa kejamnya aku memperlakukan suamiku selama ini, bahkan keluarga besarku tidak berhasil membujukku untuk makan, karena mereka tak pernah tahu mengapa aku begitu terluka kehilangan dirinya.
Hari-hari yang kujalani setelah kepergiannya bukanlah kebebasan yang aku dapatkan seperti yang selama ini kuinginkan, tetapi aku malah terjebak di dalam keinginan untuk bersama suamiku. Di hari-hari awal kepergiannya, aku duduk termangu memandangi piring kosong dan kedua orangtuaku serta ibu mertuaku membujukku makan, tetapi yang kuingat hanyalah saat suamiku membujukku untuk makan kalau aku sedang ngambek waktu itu. Ketika aku lupa membawa handuk saat mandi, seperti biasa aku berteriak memanggil suamiku, namun ketika ibuku datang dan membawakan handuk untukku, aku berjongkok sambil menangis di dalam kamar mandi karena teringat saat-saat dimana suamiku selalu membawakan handukku. Bahkan kebiasaanku yang meneleponnya setiap kali aku tidak bisa melakukan sesuatu di rumah membuat teman kerjanya kebingungan saat mereka menjawab teleponku. Setiap malam aku menunggunya di kamar tidur dan berharap esok pagi aku terbangun dengan sosoknya di sebelahku.
Dulu aku begitu kesal ketika mendengar suara dengkuran suamiku saat tidur, tapi sekarang aku bahkan sering terbangun karena rindu mendengar dengkurannya kembali. Dulu aku begitu kesal karena suamiku sering membuat kamar tidur kami berantakan, tetapi kini aku merasa kamar tidur kami terasa kosong dan hampa. Dulu aku begitu kesal jika suamiku melakukan pekerjaan dan meninggalkannya di laptopku tanpa me-log out terlebih dahulu, namun sekarang aku sering memandang komputer dan mengusap tuts-tutsnya sambil berharap bekas jari-jarinya masih tertinggal di sana. Dulu aku paling tidak suka kebiasaannya membuat kopi tanpa alas piring di meja, namun sekarang bekas-bekas kopi yang tersisa di meja waktu sarapan pagi terakhir pun tidak mau kuhapus. Remote televisi yang biasa disembunyikannya, sekarang dengan mudah kutemukan meski aku berharap bisa mengganti kehilangannya dengan kehilangan remote. Semua kebodohan tersebut aku lakukan karena aku baru menyadari bahwa dia mencintaiku dan aku pun mulai mencintai suamiku.
Aku juga marah pada diriku sendiri, karena semua kelihatan normal meskipun suamiku sudah tidak ada lagi untuk selamanya. Aku marah karena baju-baju suamiku masih ada di tempat tidur kami dan meninggalkan bau tubuhnya yang membuatku merindukan dirinya. Aku marah karena tidak bisa menghentikan semua penyesalanku, bahkan aku marah karena tidak ada lagi yang membujukku agar tenang dan tidak ada lagi yang mengingatkanku untuk sholat meskipun kini aku melakukannya dengan ikhlas. Aku sholat karena aku ingin meminta maaf pada Allah karena telah menyia-nyiakan suami yang telah dianugerahkan padaku dan juga meminta ampun karena telah menjadi istri yang tidak baik kepada suami yang begitu sempurna. Sholat lah yang mampu menghapus dukaku sedikit demi sedikit dan cinta Allah padaku ditunjukkan lewat banyak perhatian yang begitu banyak dari keluarga besarku untukku dan anak-anak, namun teman-temanku yang selama ini kubela hampir tidak pernah menunjukkan batang hidung mereka setelah kepergian suamiku.
Empat puluh hari setelah kematiannya, keluarga mengingatkanku untuk bangkit dari keterpurukan, karena ada dua anak yang menungguku dan harus kuhidupi dan kembali membuatku bingung, karena selama ini aku tidak pernah bekerja dan semuanya dilakukan suamiku. Selama ini aku tidak pernah peduli berapa besar penghasilan suamiku dan yang kupedulikan hanya jumlah rupiah yang ia transfer ke rekeningku untuk keperluan pribadi, namun setiap bulan uang tersebut hampir tak pernah tersisa. Dari kantor tempatnya bekerja, aku memperoleh gaji terakhir beserta kompensasi bonusnya dan ketika melihatnya aku terdiam karena tidak menyangka seluruh gajinya ditransfer ke rekeningku selama ini ,padahal aku tidak pernah sedikitpun menggunakannya untuk keperluan rumah tangga. Aku bahkan tidak pernah mengetahui darimana suamiku memperoleh uang sampingan untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga karena aku tidak pernah sekalipun bertanya mengenai hal itu. Yang aku tahu sekarang aku harus bekerja atau kedua anakku tidak bisa hidup karena jumlah gaji terakhir dan kompensasi bonusnya tidak akkan cukup untuk menghidupi kami bertiga. Tapi aku tidak tahu harus bekerja di mana, karena aku hampir tidak pernah punya pengalaman bekerja sama sekali dan semuanya selalu diatur oleh suamiku.
Namun kebingunganku terjawab beberapa waktu kemudian, ketika ayahku datang bersama seorang notaris membawa banyak sekali dokumen, lalu notaris tersebut memberikan sebuah surat pernyataan suamiku yang menyatakan bahwa suamiku mewariskan seluruh kekayaannya padaku dan kedua anakku beserta ibunya dan yang membuatku tidak lagi mampu berkata apapun adalah isi suratnya untukku:
Istriku Nia tersayang,
Maafkan aku karena harus meninggalkanmu terlebih dahulu, Sayang. Maafkan aku karena harus membuatmu bertanggung jawab mengurus segalanya sendiri. Maafkan aku karena tidak bisa memberimu cinta dan kasih sayang lagi. Allah memberiku waktu yang terlalu singkat karena mencintaimu dan anak-anak adalah hal terbaik yang pernah kulakukan untukmu.
Seandainya bisa, aku ingin mendampingi Sayangku selamanya, tetapi aku tidak mau kalian kehilangan kasih sayangku begitu saja. Selama ini aku telah menabung sedikit demi sedikit untuk kehidupan kalian nanti, karena aku tidak ingin Sayangku susah setelah aku pergi. Tak banyak yang bisa kuberikan, tetapi aku berharap Sayangku bisa memanfaatkannya untuk membesarkan dan mendidik kedua anak kita. Lakukan yang terbaik untuk mereka, ya Sayangku.
Jangan menangis, Sayangku yang manja. Lakukan banyak hal untuk membuat hidupmu yang terbuang percuma selama ini menjadi berarti kembali. Aku memberi kebebasan padamu untuk mewujudkan mimpi-mimpi yang tidak sempat Sayangku lakukan selama ini. Maafkan aku kalau aku menyusahkanmu dan semoga Tuhan memberimu jodoh yang lebih baik dariku.
Teruntuk Farah, putri tercintaku. Maafkan papa karena tidak bisa mendampingimu lagi. Jadilah istri yang baik seperti Ibu dan jagalah Mama dan juga Sarah adikmu. Jangan jadi anak yang bandel lagi dan ingatlah, dimanapun kalian berada, ayah akan disana melihatnya. Oke, Farah!
Aku menangis terisak-isak saat membaca surat tersebut dan ada gambar kartun dengan kacamata yang diberi lidah menjulur khas suamiku kalau ia mengirimkan catatan.
Notaris memberitahu aku bahwa selama ini suamiku memiliki beberapa asuransi dan tabungan deposito dari hasil warisan ayah kandungnya. Suamiku membuat beberapa usaha dari hasil deposito tabungan tersebut dan usaha tersebut cukup berhasil meskipun dikelola oleh orang-orang kepercayaannya. Aku hanya bisa menangis terharu saat mengetahui betapa besar cintanya pada kami, sehingga ketika ajal menjemputnya ia tetap membanjiri kami dengan cinta.
Aku tidak pernah berpikir untuk menikah lagi, meskipun banyak lelaki yang berusaha mendekatiku, karena aku tidak mampu menghapus sosok suamiku yang masih begitu hidup di dalam hatiku. Hari demi hari kuabdikan hidupku hanya untuk kedua anakku. Ketika orangtuaku dan mertuaku pergi satu persatu meninggalkanku selama-lamanya, tidak ada satupun kesedidhan yang mampu mengalahkan kesedihanku saat suamiku pergi.
Kini kedua putra putriku berusia duapuluh tiga tahun dan dua hari sebelum Farah putri sulungku menikahi seorang pemuda dari tanah seberang, dia bertanya, "Mama, aku harus bagaimana nanti setelah menjadi istri? Soalnya Farah kan nggak bisa masak dan nyuci, gimana ya Ma?"
Aku merangkulnya sambil berkata, �Cintailah suamimu, cintailah pilihan hatimu, cintailah apa yang ia miliki dan kau akan mendapatkan segalanya. Karena cinta, kamu akan belajar menyenangkan hatinya dan menerima kekurangannya, kamu pun akan belajar bahwa sebesar apapun persoalan, kalian akan menyelesaikannya atas nama cinta.�
Putriku menatapku, "Seperti cinta Mama untuk Papa? Cinta itukah yang membuat Mama tetap setia pada Papa sampai sekarang?"
Aku menggeleng sambil berkata, "Bukan, Sayangku! Cintailah suamimu seperti Papa mencintai Mama dan kalian berdua. Mama setia pada Papa karena cinta Papa yang begitu besar pada Mama dan kalian berdua."
Aku mungkin tidak beruntung karena tidak sempat menunjukkan cintaku pada suamiku, karena aku menghabiskan sepuluh tahun untuk membenci suamiku dan menghabiskan hampir sepanjang sisa hidupku untuk mencintainya. Aku bebas dari suamiku karena kematian, tapi aku tidak pernah bisa bebas dari cintanya yang begitu tulus kepada diriku dan kedua anakku.
Sumber: Email dari Bapak Wawan Sutarman.
Diposting oleh Hadi Kristadi untuk PENTAS KESAKSIAN http://kesaksianabadi.blogspot.com
Post a Comment